Manusia Itu Sama Saja

Angelina
3 min readJan 24, 2024

--

Photo by GR Stocks on Unsplash

Berbicara tentang perempuan, kita mengenal betul bagaimana stigma yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Hebatnya seorang perempuan tidak perlu ditanya. Mereka mampu bertahan di tengah-tengah ideologi busuk para pelempar bercandaan tak bermoral. ‘Bercanda’ katanya, namun melukai hati. Membuat tersinggung, membuat kepercayaan diri menurun. Mana ada bercanda yang hanya dimengerti oleh satu pihak, dan pihak lainnya tidak terima. “Harus mengerti dulu, baru bisa bercanda”.

Berbicara tentang perempuan, kita mengenal betul ibu-ibu tangguh yang bersedia merelakan apapun untuk membesarkan kita menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang dapat menyebarkan kebaikan. Manusia yang dapat berdampak dalam hal baik dan/atau positif bagi sesama. Tidak perlu besar-besar dampaknya, cukup untuk orang-orang terdekat saja sudah sangat berarti.

Berbicara tentang perempuan, dapat kita lihat aktivis yang teriak sana-sini demi memperjuangkan hak-hak dasar manusia. Bagaimana seseorang dapat merasa aman dan nyaman di ruang publik. Bagaimana seseorang tidak perlu melakukan white lies atau berbohong demi kebaikan hanya untuk melindungi diri. Bagaimana seseorang tidak perlu merasa terancam setiap ingin menyuarakan pendapatnya. Bagaimana seseorang hanya ingin didengar dan dipahami.

‘Perempuan rumit’, katanya. Apakah perempuan serumit itu atau memang yang berkata tidak mau memahami saja? Padahal dengan menerapkan komunikasi asertif, semua dapat mendapatkan solusi yang sesuai. Cara berkomunikasi yang terbuka, namun tetap saling menghormati satu sama lain. Terdengar mudah, namun ternyata sangat sulit dilakukan oleh beberapa orang.

Apakah semua ini tentang perempuan saja? Tidak. Perempuan dan laki-laki sama saja. Luasnya lingkunganku membuatku membuka mata dan telinga. Memahami banyak hal dengan melihatnya secara langsung. Mau laki-laki, mau perempuan, semua sama saja. Mereka yang mau melemparkan candaan seksis dan misoginis selalu ada-ada saja. Lupa kalau diri sendiri bisa menjadi korban kapan saja. Lupa kalau orang-orang yang dilindungi bisa menjadi korban kapan saja. Bagaimana tidak lupa? Berlindung dibalik kata ‘bercanda’ dan menormalisasi hal-hal tidak pantas.

Teriak-teriak soal moral, sendirinya melontarkan kalimat tercela tanpa merasa bersalah. Bagaimana mungkin seseorang bisa terbiasa dengan kalimat-kalimat tak senonoh? Jawabannya cuma satu. Tumbuh di lingkungan serupa hingga terbiasa tanpa mau membuka mata dan telinga. Hatinya seperti sudah dibatasi dinding baja sehingga sulit mengaku salah.

“Kamu terlalu kurus, nanti tidak ada laki-laki yang mau denganmu”

“Kamu terlalu gemuk, laki-laki bahkan tidak menyadari kehadiranmu”

“Kamu tidak bisa bekerja, bagaimana perempuan mau melirikmu”

“Kamu terlalu gemulai, mana ada perempuan yang mau menjadikanmu kekasih”

Sebetulnya manusia hidup untuk siapa? Untuk memenuhi komentar-komentar tak perlu orang lain? Untuh memenuhi harapan-harapan orang lain, yang mereka sendiri tidak miliki? Maka ketidakpercayaan diri itu menjadi senjata untuk menyerang orang lain? Seolah-olah manusia adalah boneka yang bisa berperan seperti semua yang diharapkan oleh manusia lain. Padahal sesama manusia, mengapa bisa tega mengucap demikian?

Mereka yang merasa kuat akan terus menindas. Entah laki-laki atau perempuan, tidak ada bedanya. Masalahnya satu, yang paling sering kita dapati menjadi seorang korban, sudah pasti perempuan. Mudah sekali menemukannya. Bahkan mungkin orang-orang terdekatmu yang berusaha tampak tegar dan bersikap bodo amat.

Kapan dunia ini akan menjadi ruang aman untuk semua? Entahlah. Manusia selalu punya pilihan untuk melakukan setiap hal yang ia inginkan. Manusia, sekali lagi, sangat bebas untuk melakukan yang mereka inginkan. Semua keputusan bergantung pada setiap individu itu sendiri. Pada intinya, manusia itu sama saja. Pembedanya adalah keputusan itu sendiri. Manusia ingin memiliki jiwa yang seperti apa? Hanya manusia itu juga yang bisa menjawabnya.

--

--